“Mbak kalau mau ke gunung jangan naik BRT ini.”
Pica
terhenyak. Sejurus kemudian tawanya mengudara. Mbak-mbak BRT ini adalah orang
kesekian kalinya yang menyadari buruknya selera fashion Pica. Celana belel
selutut, Topi rajut warna warni, ditambah kaos oblong dan jaket tebal, dipadu
lagi dengan jam tangan Doraemon yang lebih mirip kompas. Belum lagi tas
punggung yang lebih mirip tas gunung karena memang di rumah sudah tidak ada
lagi tas yang bisa dipakai.
Namanya
Pica. Mungil, berantakan, tapi cuek. Semua yang ada padanya adalah buah
kecuekannya terhadap sesama. Pica tak pernah peduli banyak orang yang
memandangnya aneh, atau tak ada cowok yang mau dekat dengannya. Selama film
kartun Doraemon masih tayang di TV, Pica masih bisa hidup dalam kesenangan. Dan
tanpa kesepian.
Udara
dalam BRT kala itu terlampau dingin. Ditambah lagi cuaca Semarang kala itu juga
dingin. Pica duduk sendirian di bagian depan BRT. Hanya ada 3 orang yang
mengisi tempat duduk di sayap kiri bersama Pica. Dan 7 orang di sayap kanan.
Pica merasakan atmosfer beku mulai memenuhi ruang tertutup itu. Walaupun
dirinya sudah mengenakan jaket tebal, namun tetap saja kulitnya terasa tertusuk
hawa dingin ini. Tanpa sadar pandangannya bertabrakan dengan sepasang kekasih
yang tengah duduk di sudut BRT. Sang cowok memeluk cewek berambut sebahu yang
Nampak kedinginan itu. Betapa hangatnya cewek itu. Dibandingkan dengan saat
mengenakan jaket tebal milik Pica ini. Tentu dalam pelukan itu lebih hangat.
Pica tersadar. Lamunannya sudah melenggang jauh. Dulu dia tidak pernah
berpikiran macam-macam ketika melihat seperti itu. Hanya tawa yang sengaja
dilepas bak ironi. Namun kali ini rasanya…
Pica
tak tahu apa yang berubah darinya.
Cewek
itu memejamkan mata, lalu mendadak dadanya terasa sesak. Pica pun berdiri dan
menghampiri pak Sopir. “Bisa tolong dinaikkan suhunya?”
Pak
Sopir mengangguk. Pica pun duduk kembali. Dia tidak kuat melihat adegan yang
berseliweran dalam bayangannya seraya mengejek. Maka dia meminta Pak Sopir
untuk menaikkan suhu untuk menghentikan itu semua. Namun usahanya sia-sia. Sang
cowok di kursi belakang itu tetap pada posisinya. Tak berubah sama sekali.
Sial!
Tak ada lagi yang dapat Pica lakukan
selain menumpu pandangan pada sela-sela kendaraan yang lalu lalang. Menyelipkan
kecemburuan di Antara ruang di ujung jalan.
***
BRT
koridor 4 telah memasuki Karangayu. Berhenti tepat di depan halte. Pica turun
sembari melirik jam tangan Doraemon yang masih melingar manis di tangan
kirinya. 14.30 WIB. Masih lama menuju tahun baru. Namun tak apa, Pica bisa pergi ke
toko buku berlama-lama sampai perayaan tahun baru tiba. Inilah hobinya. Hingga
dia terkadang lupa akan sekelilingnya. Dan karena hobi membaca buku ini, Pica
tak sempat membaca hatinya sendiri.
Pica
harus menunggu BRT selanjutnya untuk melanjutkan perjalanannya ke simpang 5.
Disampingnya duduk seorang bapak tua yang tengah mengeluarkan batang rokoknya. Cewek
itu mendelik kaget. Bukan, bukan karena batang rokoknya tapi karena apa yang
bapak itu keluarkan selanjutnya. Dia mengeluarkan sebatang korek api.
Pelan-pelan digesekkannya batang korek itu pada bidang coklat tua yang ada di
bungkusnya. Lama-lama timbulah percikan api. Tepat saat itu Pica menahan napas
berat. Dia harus segera pergi dari sini.
***
BRT
yang ditunggu-tunggunya telah datang. Kali ini memajang angka 07 di kaca
depannya. Mas-mas BRT sudah sejak beberapa detik lalu berkoar-koar menyebut “Penggaron”,
tempat tujuan BRT yang akan Pica naiki. Pica pun naik dan memilih kursi yang
sama. Sayap kiri bagian depan. Kursi favoritnya. Pica melirik jam tangan
Doraemonnya. Pukul 15.00 WIB. Dia memajukan kepalanya untuk lebih leluasa
melihat jalan.
Selasa-selasa
begini, BRT 07 jurusan Penggaron ini tidak ramai. Pica malah senang tak ada
orang yang duduk di sebelahnya, yang mengharuskannya mengajak berbincang bagai
sebuah keharusan. Tiba-tiba seseorang duduk menjejeri Pica. Cewek itu tak
terlalu peduli. Dia pun melemparkan pandang pada jalanan kembali, sebelum
memulai pembicaraan dengan orang itu menjadi sebuah keharusan.
“Mbak
bisa geser sedikit kepalanya? Aku juga mau lihat jalan,” ujar orang yang
ternyata cowok itu. Pica mendesah. Sepertinya orang ini menyebalkan. Dia pun
meletakkan kepalanya di kursi, memberi celah sesuai instruksi. Pica melirik
sedikit ke arah cowok menyebalkan itu. Mendadak, matanya membulat. Ini bukan halusinasi,
cowok itu sangat… tampan.
Merasa
diperhatikan, sang cowok berdehem. “Siapa namamu?”
“Pica,”
ujar Pica sambil menerima jabatan tangan cowok itu.
“Nama
yang unik,” ujar cowok itu sambil memperhatikan Pica dari ujung kaki sampai
ujung kepala. Entah setan apa yang mempengaruhi Pica kali ini, karena untuk
pertama kalinya Pica merasa tidak percaya diri terhadap penampilannya.
Penampilan bak orang ingin naik gunung, begitu kata mbak-mbak BRT tadi. Biasanya
Pica cuek.
Namun
kali ini rasanya…
Pica
hanya bisa tersenyum getir. Menertawakan dirinya sendiri dan apa yang berubah
dari dirinya. “Ohya, nama kamu siapa?”
“Pyro.”
“Apa?
Piro=berapa?” tanya Pica memastikan pendengarannya.
“Bukan.
P-Y-R-O. Pyro,” cowok itu tersenyum. Mungkin dia telah menerima tanggapan
seperti itu untuk yang keseribu kalinya.
“Nama
kamu lebih unik,” tutur Pica pelan. Pyro hanya tertawa kecil.
“Mau
kemana Pica?” tanya Pyro.
“Toko
buku. Menunggu tahun baru,” jawab Pica dengan senyum.
“Pasti
mau ikut perayaan tahun baru di simpang 5 nanti malam ya?” Pyro ikut tersenyum.
DEG! Pica tersadar, dia tak lagi menjadi dirinya. Untuk apa Pica membuka
pembicaraan dengan mengkaitkan apa yang akan dia lakukan? Apa itu perlu untuk
dua orang yang baru saling kenal? Pica merasa asing dengan dirinya sendiri.
Belum pernah dia merasa antusias dengan orang yang baru dikenalnya.
Kurasa, aku harus menutup pembicaraan ini.
Lirih Pica dalam hati.
“Ya.”
Ujar Pica singkat. Kemudian dia segera mengalihkan tatapan pada jalanan
kembali. Membentuk suatu tindakan tak mau diganggu lagi.
Namun
kelihatannya Pyro tak mengerti keadaan. “Aku juga mau ikut perayaan di simpang
5 nanti malam. Bareng, yuk!”
Uhuk.
Pica
merasa tenggorokannya mengering.
Pita
suaranya rusak.
Wajahnya
memerah.
Atmosfer
bahagianya meletup. Namun refleks, otaknya tegas menggeleng. “Tidak.
Terimakasih,” Pica berusaha untuk tidak tersenyum manis.
Pyro
tidak bereaksi apa-apa. Tak juga ada perubahan di raut wajahnya. Benar, sudah selesai. Pikir Pica. Namun
dirinya salah. Saat itu juga Pyro menarik tangan Pica menuju pintu keluar BRT.
Mereka turun di tempat yang tepat. Halte seberang toko buku. Dan Pica tak sadar
jika tangan Pyro masih pada genggaman tangannya.
***
“Harry
Potter memang buku terbaik sepanjang masa. Tahu nggak waktu Voldemort berubah?
Tampangnya jadi jelek banget, tahu!” Pyro masih terus mengoceh di dalam toko
buku. Di saat Pica tengah asyik membaca komik Doraemon, Pyro malah mengoceh tentang
kehebatan novel Harry Potter. Lalu berganti pada serial The Hobbit. Terkadang
dia membicarakan novel Supernova. Sementara Pica mencoba untuk cuek. Hanya
menanggapi dengan kata ‘hm’ atau mungkin ‘ya’ bisa juga ‘oh’.
“Waktu
Percy Jackson difilmkan, kamu nonton enggak?” Pyro tengah mengambil buku Percy
Jackson dari rak.
“Hm?”
Pica menaikkan alis sambil serius membaca komik Doraemon yang hampir mencapai setengah
dari seluruh halamannya.
“Ah,
sudahlah,” Pyro pun berlalu meninggalkan Pica. Dia mungkin mencari Percy
Jackson yang lain. Namun Pica segera menutup komiknya. Dia memperhatikan Pyro
dari kejauhan. Sebenarnya Pica tak tega tidak meladeni Pyro. Namun dia sudah
terbiasa dengan hal ini. Terlalu lama dirinya tak pernah dekat dengan seorang
cowok membuatnya tak tahu harus bersikap seperti apa di depan kaum lelaki.
Biarlah.
Biarlah ini menjadi kebiasaannya. Dari dulu sampai sekarang.
***
Langit
mendung. Pica tahu itu.
“Pica,
kamu bawa payung enggak?” tanya Pyro di depan toko buku.
“Enggak,”
jawabnya singkat. Duaarr! Petir mendadak datang menyambar.
“Beli
payung dulu yuk! Mau hujan nih kayaknya,” Pyro menarik tangan Pica lagi. Tapi
cewek itu tangkas menepisnya.
“Nggak
usah. Kalau mau beli, beli sendiri aja. Aku bisa jalan sendiri walau hujan kok,”
ujar Pica tegas.Matanya membulat, bukti bahwa ia berkata sungguh.
“Nanti
kalau kamu sakit gimana?” tanya Pyro. Sungguh, Pica serasa mau terbang
dibuatnya. Pyro, cowok satu-satunya yang memperhatikannya lebih dibanding perhatian
ibu ke anak. Pica tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Bahkan untuk
memimpikannya pun dia enggan. Dan kali ini dia mengalaminya sendiri. Inikah
realita?
“I’m
OK.” Ujar Pica sambil membentuk tanda ‘OK’ dengan tangannya. Pyro hanya
tersenyum. Pica melirik jam tangan Doraemonnya. 20.00 WIB. Perut Pica
merongrong minta diisi. Dia melirik ke arah Pyro. Cowok itu masih menatap Pica penuh perhatian.
“Aku
mau cari makan. Kamu di sini aja juga nggak apa-apa. Terimakasih untuk
pertemuan ini. Nanti malam tahun baru. Aku harap di tahun yang baru nanti kita
bisa ketemu lagi,” ujar Pica berat. Dia hampr tak percaya dia tengah
mengucapkan kata perpisahan.
Pyro
melongo. “Aku ikut.”
“Lho
kok?”
“Tadi
aku ngajak kamu buat ikut perayaan tahun baru di simpang 5 bareng kan? Bukan Cuma
ke toko buku bareng. Udah yuk cabut, laper nih!” Pyro menarik lagi tangan Pica
hingga cewek itu tak kuasa menolak. Selalu
saja, genggaman ini.
Mereka
makan di sepanjang trotoar simpang 5. Bukan makanan yang mahal, namun entah
mengapa terasa begitu nikmat. Di bawah langit malam Pica tersenyum dan Pyro tertawa. Untuk pertama kalinya dia merasa nyaman berada di dekat cowok. Pica tak mau mengakui bahwa Pyro lah alasannya kenikmatan ini.
Dialah oasis dalam BRT 07 tadi. Apa yang Fica butuhkan di tengah kehausan.
***
Malam
sudah mulai larut. Rombongan manusia datang berbondong-bondong memenuhi
bundaran simpang 5. Sebuah band turut memeriahkan acara tersebut. Kini simpang
5 telah berjubel lautan manusia. Pica dan Pyro adalah salah satu yang terjebak
di antaranya.
“Masuk
lebih dalam yuk. Ke dekat panggung. Nggak seru kalau Cuma di sini!” Lagi-lagi
Pyro menarik tangan Pica. Cewek itu menurut saja. Walau kakinya terseok para
manusia.
Mendung
mulai menguasai langit malam. Pica tahu, sebentar lagi pasti hujan akan datang.
Dia mengerti apa yang harus dilakukannya. “Pyro, aku kesana sebentar ya.
Sepertinya ada temenku di sana,” Pica menunjuk salah satu titik keramaian.
“Kamu
di sini aja.” Ujar Pica tegas. Sebelum sempat Pyro menolak, Pica keburu pergi.
Dan langit sudah tidak bisa diajak kompromi.
Hujan
turun mulai dari rintik hingga menderas. Pica sekarang sendirian di tengah
kerumunan orang. Dia tidak benar-benar melihat temannya. Itu hanyalah satu
alasan baginya untuk menghindar dari Pyro. Cewek itu tak mau Pyro melakukan hal
di saat hujan yang dapat membuatnya jatuh cinta. Entah hanya karena Pyro
melindunginya saat hujan. Pica tak mau itu terjadi. Pyro bukan siapa-siapa.
Pica tak mau jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Pyro, seseorang yang baru
ia kenal beberapa jam yang lalu. Pica menggeleng. Dia tak sadar air matanya
menetes. Tapi hujan telah menutupinya hingga tak seorangpun tahu Pica tengah
menangis.
Sementara
itu Pyro berjalan kalang kabut mencari Pica. Hujan deras yang membasahi
tubuhnya yang telah kuyub itu tak dihiraukan. Dia berlari kesana kemari hingga
menemukan sosok yang taka sing baginya. Itu Pica. Cewek yang paling mencolok.
Pica memang paling aneh di antara mereka—cewek-cewek itu.
“PICA!”
teriak Pyro. Lantas, Pica menoleh. Ketika melihat Pyro, air matanya menderas
bersama hujan yang ikut menderas. Dia pasrah. Mau dibawa kemana hati ini?
Pyro
membuka tasnya. Dia mengambil jaket kulit tebal dari sana. Lalu dia melindungi
Pica dengan jaket itu, sementara tubuhnya menggigil kedinginan.
“Ini
punya kamu. Pakai saja sendiri,” Pica menyodorkan jaket pada Pyro. Cowok itu
menatap tajam Pica.
“Pakai
saja! Jangan keras kepala!” bentak Pyro. Cowok itu menatap tajam wajah Pica.
Cewek itu menunduk takut dan menuruti perintahnya. Pica memejamkan mata. Pyro
bukan benar-benar membentaknya. Dia hanya tengah berusaha melindungi Pica. Cewek
itu tersenyum.
***
Hujan
mulai reda. Walaupun Pyro telah memberikan jaketnya pada Pica, cewek itu tetap
basah kuyub. Setidaknya lebih kering dari tubuh Pyro.
“Kamu…
nggak apa-apa kan?” ketika bertanya seperti itu, bibir Pica bergetar.
Benarkah hatinya ingin dia memberi perhatian
seperti itu?
Pyro terhenyak. Dia hanya tersenyum
lalu berkata, “I’m OK.”
Tiba-tiba
Pyro mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Pelan-pelan, namun sontak membuat Pica
terkejut. Cewek itu mundur beberapa langkah kecil. Pica menggeleng. Napasnya
naik turun.
Korek
api.
Lalu
Pica teringat akan tragedi di halte BRT tadi siang. Uhuk.
“Biar
hangat, aku mau nyalain api ya,” ujar Pyro santai.
“Jangan…
Pyro, jangan…” lirih Pica berat. Detak
jantungnya berkolaborasi dengan detik tangan Pyro mulai menggesekkan batang
korek pada bungkusnya itu.
Pyro
mengernyit. Batang korek itu dia turunkan. “Kenapa?”
“Kumohon,
jangan…” lirihnya lagi. Wajah Pica terlihat berkeringat dingin. Pyro makin
mengernyit. Namun tangannya tetap menggesek batang korek api itu.
“Jujur
saja, setelah semua keunikanmu itu, aku merasa permohonanmulah yang paling…”
JESS!
Api
pun menyala.
DORR!
Bersamaan
dengan meluncurnya kembang api tahun baru.
Lalu,
Kembang api dan petasan yang jadi saksi di udara, tragedi lalu kembali terjadi.
Pica
terpaku sebelum akhirnya jatuh. Ambruk.
“Unik”
sambung Pyro. Lalu secepat mungkin dirinya menahan Pica yang ambruk. Di
tangannya, Pica tergolek lemas.
***
Samar-samar
Pica melihat cahaya putih. Dia mendesak matanya untuk membuka lebih lebar lagi.
Dan dia menemukan sosok Pyro di dekatnya. Sejurus kemudian dia ingat apa yang
terjadi, dan mengapa dia ada di sini.
“Maaf,”
lirik Pica.
“Aku
memang phobia sama api,” Pica berkata sambil menertawakan dirinya sendiri.
Phobia ini lagi-lagi menyusahkan orang.
“Aku yang minta maaf karena aku
bener-bener nggak tahu,” tutur Pyro sedih. Pica tersenyum.
“Aku yang minta maaf karena nggak
bilang dulu sama kamu,” ujarnya. Pica masih tersenyum. Entah mengapa dia mulai
terbiasa dengan dirinya yang asing. Dirinya mulai bisa menerima sisi hati yang
tak pernah disapa oleh siapapun kini malah menerima seorang tamu untuk diajak
masuk.
“Kamu itu pengidap…” Pyro memejamkan
mata. Mencoba mencari-cari jawaban.
“Pyro-phobia!”
Tepat saat Pyro mengatakan itu, dunia
serasa berhenti berputar. Jarum jam serasa berhenti berdetak. Begitu juga detak
jantung Pica. Pyro memeluknya. Tubuh tegap tinggi itu memeluknya cepat. Erat.
Pica mendorong tubuh Pyro jauh-jauh.
“Apa-apaan kamu?!” bentak Pica.
“Kamu sendiri apa-apan dengan hatimu?”
ujar Pyro sambil tertawa getir. “Kamu tak pernah membiarkan hatimu berbicara.
Kamu selalu menutupinya dengan bilang ‘tidak’. Bahkan sampai aku tadi
memelukmu, sebenarnya… itukah yang kau inginkan? Kau sebenarnya ingin cinta
dari seorang lelaki, iya kan? Tapi kamu menutupi semua rasa itu dengan semua
kecuekanmu kan?” Pyro menubruk hati Pica dengan kata-kata yang bertubi-tubi
itu.
Pica merasakan dadanya sesak.
Apakah dia harus menyadari bahwa yang dikatakan Pyro adalah… benar?
“Aku ini Pyro. Pyro-phobia. Aku
datang sebagai buah ketakutanmu pada api. Namun aku terjebak dalam bara api
hatimu, Pica. Api yang selama ini selalu kau tutupi, dan tak pernah mau kau
sadari,” jelas Pyro.
Pica terhenyak. Apa ini semua mimpi?
Pyro=Pyro-phobia?
“Ini hidup, Pica. Kamu nggak bisa
hidup sendiri. Kamu butuh orang lain. Secuek apapun kamu, kamu tetep butuh
cinta. Jangan bohongi dirimu sendiri! Ini hidup, sayang…” Pyro berkata tegas.
Dipeluknya lagi cewek itu. Erat. Hingga Pica tak bisa bernapas. Matanya
terpejam. Dia tak sadar bahwa dia tengah berada dalam tidur panjang.
***
“Mbak
bangun! BRT nya sudah datang!” teriak mas-mas BRT. Pica terbangun. Dia
gelagapan. Dia memandang sekeliling. Dimana
Pyro?
Dengan
seribu tanda tanya di dada, langkahnya tetap terayun masuk ke BRT. Dia duduk di
sayap kiri bagian depan. Cewek itu melirik jam. 15.00 WIB. Hari Selasa. 31
Desember. Aneh.
Tiba-tiba
seorang cowok datang menjejeri duduknya. Wajahnya mirip seperti…. Pyro?
Pica
mempertajam penglihatannya. Menekuri setiap jengkal wajahnya. Tiba-tiba cowok
itu menyodorkan tangan. “Aku Pyro. Nama kamu siapa?”
Mendadak,
Pica kehabisan napas.
0 komentar:
Posting Komentar